Kalau denger kata ngebut, pasti keinget dengan tabrakan dan kecelakaan bukan? Kalau aku sih nggak. Sebagai anak yang sering kesiangan ngampus (padahal ga pagi-pagi dan ga jauh-jauh amat), aku suka ngebut di jalan. Nancep gas, nyelap-nyelip lewatin kendaraan lain, nyari celah yang pas, udah kaya pembalap handal, wkwkwk. Tapi disclaimer: ini bukan untuk ditiru semua orang, bahkan sebenarnya nggak buat aku sendiri.
Tapi di blog kali ini, aku bukan mau bahas ngebut dan bahayanya di jalanan. Tapi perspektif lain jalanan, kekesalan akan berbagai hambatan yang ada karena kurangnya kesadaran kolektif di jalanan.
Ngebut juga adalah tentang safety. Kalau kalian sering nonton turnamen balapan mobil, apa kalian pikir balapannya bakal brutal? Ga segan-segan nyiku lawan dan ngerusak mobil? Tentu tidak.
Nanti yang ada mereka tekor karena harus perbaiki mesin tiap hari. Mereka pun gak bakal mau kalau harus berurusan dengan kasus kematian nabrak lawan sendiri.
Kita harus memisahkan pemaknaan ngebut ini. Ada yang ngebut liar seperti bocah kroco balapan liar yang sering bikin kasus. Ada juga ngebut profesional seperti pembalap F1.
Ngebut bukan selalu tentang kecepatan. Tapi juga tentang seberapa efisien kita bisa meminimalisir jarak tempuh perjalanan serta risiko kecelakaan di jalanan.
Pernah gak, kepikiran macet itu sebenarnya karena apa? Apa di depan bener-bener ada gangguan, atau ternyata cuma phantom traffic?
Phantom traffic adalah kondisi saat jalanan mengalami macet tanpa ada alasan yang jelas, misalnya: kendaraan mogok, melambat, berhenti tiba-tiba, dsb. Dan macet ini bisa bikin hambatan 'tak nampak' yang beruntun.
Biasanya, orang-orang ngebet kepengen dapet SIM biar aman dari ditilang doang. Namun sebenernya, motivasi itu juga wajar saja.
Tes SIM itu rasanya selalu dipersulit dan skenario tes simulasinya juga rasanya ga masuk akal untuk terjadi di situasi berkendara asli. Selain itu, kalau gagal juga harus bayar lagi dan lagi, yang bikin orang lebih milih nembak SIM. Nah makanya, masalah calo pun muncul karena sistem tesnya sendiri ga mempermudah.
Alhasil, banyak yang dapet SIM tapi skill mengendara dan awareness tentang jalanannya pun masih kurang. Gak merhatiin situasi sekitar dan orang-orang yang lagi butuh cepat di jalanan. Sok pelan dengan alasan "keselamatan no. 1" padahal karena belum cukup mumpuni berkendara dan takut celaka.
Dan yang sering terjadi: kalau lampu hijau, orang-orang bukannya nancep gas malah nancep klakson. Like, bro, lu mikir gue gak mikir? Mana ada yg mau stuck terus disini, ARGH. Bentar, tahan nafas.
Dari faktor psikologis, saat kita berkendara kita juga terpengaruh road rage (marah-marah di jalan), apalagi kalau emosi dan pikiran ga stabil. Kita bakal mau menang sendiri; kalau tabrakan malah nyalahin yang kesenggol; lampu merah gak ada polisi langsung dilibas; mobil ketabrak dan coak dikit dipermasalahin.
Solusi simpelnya, kita harus aware dan mindful (fokus dan konsentrasi) saat berkendara. Jangan terpancing emosi dengan mudah. Selain itu juga, kita selalu diingatkan untuk dzikir selama perjalanan, biar aman dari bahaya, termasuk bahaya dari internal (diri kita sendiri).
Jadi begitulah kira-kira esai tentang keluh-kesah jalanan ini. Ngebut adalah seni yang tercipta dari banyaknya rintangan di jalanan, agar bisa mencapai tujuan dengan cepat dan aman. Kalau kita lebih sadar dengan lingkungan sekitar saat berkendara, kita bisa menghindari kekacauan jalanan. Jadi, mau cepat dan selamat atau lambat dan menghambat?
Kalau kamu sendiri gimana? Punya cerita absurd pas di jalanan? Punya dendam sama satu kendaraan itu, mungkin? Atau mau sharing perspektif lainnya? Coba tulis di kolom komentar ya!
0 Komentar