aiminprojects logo Aimin' Projects

Post Highlight    

Internet_5G.ram

Internet adalah dunia keduaku, nikmat yang menyediakan banyak keseruan dunia yang tak pernah kudapat. Berbagai informasi, hiburan, manfaat disediakannya. Tapi siapa sangka dunia ini dapat menusukkan pisaunya padaku dari belakang secara perlahan?

Internet, suatu teknologi yang aku selancari ombak keseruannya hingga aku terbawa arus dan tenggelam di dalamnya. Sebuah inovasi yang mampu menciptakan dunia kedua bagi orang-orang. Bahkan mungkin rasanya di zaman ini, internet adalah kebutuhan pokok manusia.

Aku sendiri kenal dengan internet saat dosis standarnya masih 3 gram. Awalnya hanya 1-2 gram yang dapat mentransmisikan pikiran orang lewat SMS dan telepon. Dengan 3 gram, internet menandai era generasi baru dengan berbagai fitur baru seperti browsing, data transfer, email, streaming, dan lainnya. Dan sekarang dengan dosis standar baru 5 gram, internet memiliki kecepatan real-time, membuat manusia rasanya tak bisa membedakan mana dunia nyata dan mana dunia virtual.

Semua bermula saat aku masih kecil, bahkan sebelum TK. Orang tuaku membiarkan aku memainkan laptop Ayah. Laptop pinjaman oleh kantor tempatnya bekerja. Mereka membiarkan aku memainkannya sebab kurangnya perhatian yang dapat mereka berikan untuk menjadi teman bermainku. Dari saat itulah aku mulai terpikat dengan teknologi.

Sebagai generasi yang tumbuh beriringan dengan kemajuan teknologi, aku bisa mengikutinya dengan mudah. Aku sudah bisa mengoperasikan laptop dan bermain game yang dipasangkan Ayahku. Aku mempelajari hal baru seperti operating system dan bahasa Inggris. Namun, hal yang paling menarik perhatianku adalah perangkat ajaib yang Ayah miliki untuk membuka kunci menuju dunia lain, sebuah modem internet.

Ayah melarang aku memilikinya, katanya di dalamnya berisi hal-hal yang berbahaya, belum saatnya untukku memilikinya. Aku hanya bisa cemberut dan mematuhi perkataan Ayah. Setidaknya, apa yang ada di dalam laptop masih menyenangkan untuk aku eksplorasi.

Saat TK, aku jadi sering menghabiskan waktu bermain komputer ketimbang dengan teman dan keluarga. Wajar saja karena memang aku tak memiliki banyak teman ataupun keluarga yang bisa diajak main. Sekian lama aku bermain laptop, semua game sudah aku tamatkan. Rasanya mulai bosan mengulang terus, walau memang ada game dengan bos yang belum aku selesaikan. Aku sudah mencoba mengalahkan bos itu berkali-kali dan gagal terus sampai-sampai orang tuaku harus mengambil laptopnya karena sudah malam.

Suatu ketika sepulang sekolah teman sekelas SD-ku mengajak ke warnet, singkatan dari warung internet. Di dalamnya berjejer monitor komputer dan kursi dengan rapi. Tiga ribu per jam untuk memakainya, tapi apa hebatnya dari laptop yang aku punya di rumah? Internet!

Tanpa modem, secara ajaib komputer ini sudah terhubung ke dunia digital yang selama ini membuatku penasaran. Aku bisa menonton video yang tak ditayangkan di TV, memainkan game online, dan mencari apa saja yang aku mau. Koneksinya memang bukan yang terbaik saat itu dengan banyaknya buffering dan kalau kebablasan memakainya bisa-bisa dimarahi penjaga warnet karena membuat koneksinya lambat. Tapi untuk saat itu, koneksinya sudah yang paling mengagumkan.

Sejak itu, aku selalu berusaha menyisihkan uang jajan walau sering kelaparan hanya demi bisa ke warnet. Berjam-jam lamanya hingga Magrib baru pulang. Aku beralasan ekskul dan kerja kelompok agar tidak ketahuan. "Tak apa asalkan kenikmatan ini bisa terus aku rasakan," ucapku.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama karena tempat itu akhirnya tutup untuk selama-selamanya, bangkrut. "TIDAKKK!!!" ucapku tak rela, seakan-akan bagian dari hidupku telah direbut. Entah kenapa aku tidak seperti biasanya, aku jadi lebih emosional dari biasanya.

Aku memaksa Ayah untuk memberikan modem internetnya agar aku tak bosan. Ayahku masih mengatakan hal yang sama kalau aku belum siap. Tapi akhirnya aku katakan kalau selama ini aku sudah lama berselancar di dalamnya, di warnet. Ayahku, dengan nada ragu, memastikan, "Ayah tidak bisa menahan kamu lebih lama lagi karena Ayah tahu suatu saat kamu harus berhadapan dengan dunia ini, apalagi sekarang kamu sudah mulai masuk SMP. Tapi ... apa kamu sanggup menerima segala risiko yang ada di dalamnya ...?" Aku setengah serius, hanya mengiyakan agar Ayah memberikannya. Namun hal yang tidak diduga, Ayah malah memberiku sebuah empat persegi panjang.


Bukan, bukan permen coklat Patrick, tapi seperti monitor mini. Itu adalah handphone, teknologi yang lebih canggih dari laptop. Mudah dibawa ke mana saja, cepat, dan yang pasti ... ada internet! Ayah memberikan kartu SIM sebagai nomor telepon dan penyedia internet. Hanya perlu ke konter pulsa untuk mengisi paket data internet, dan ta-da! Handphone siap berselancar.

Ayahku berpesan untuk menggunakannya dalam memudahkan berkomunikasi, mencari materi pembelajaran, dan info-info dari sekolah. "Ayah tidak meminta kamu berjanji untuk Ayah, tapi untuk diri kamu sendiri. Internet ... penuh dengan segudang manfaat, tapi juga segudang bahaya. Kamu boleh bersenang-senang, tapi sesekali, lihat kembali dirimu. Lihat apa yang berubah, karena Ayah sendiri mulai merasakan kalau kamu jadi sedikit lebih ... liar."

Aku mulai berpindah dari laptop Ayah yang lambat dan jadul ke handphone. Alokasi uang jajanku berpindah dari warnet ke paket data. Namun jeleknya, paket data lebih mahal dari warnet. Aku tak bisa memakainya seenak hati atau paket data akan terkuras dengan cepat. Aku lebih berhati-hati untuk memakainya sehemat mungkin agar bisa terus merasakan internet, karena tanpanya perangkat handphone ini juga rasanya kosong seperti laptop ayah tanpa modem.


Aku membuat email dan akun sosmed, bertemu dengan teman-teman di sekolah secara virtual. Aku juga berkenalan dengan beragam kenalan online, yang rasanya lebih mengerti aku walau belum tahu aslinya secara langsung. Aku mulai lebih mengenali apa yang menjadi pembicaraan orang-orang serta informasi dan tren terkini yang diikuti. Aku mulai sering melihat status, chat berjam-jam, scrolling sosmed, mengikuti hal viral dan drama terbaru yang tidak ada habis-habisnya.

"Apa aku ketinggalan banyak?" ucapku mulai khawatir jika aku akan diabaikan jika tidak bisa mengikuti arus baru ini. Aku jadi membandingkan diriku dengan orang-orang internet, atau lebih umum disebut netizen. Mempertanyakan apa kekurangan dan kelebihanku, tapi anehnya aku lebih sering membuat diriku terlihat lebih jelek dari yang lain.

Namun, terbesit sebuah peluang baru di pikiranku. Aku menggunakan kesempatan ini untuk eksis dan berkembang dengan memanfaatkan hobi yang aku sukai, content creating. Sudah lama aku terinspirasi dengan banyaknya video yang aku lihat saat dulu di warnet. Animasi dengan memakai karakter dan latar dunia dari sebuah game, dari yang awalnya hanya game yang lama-lama membosankan kalau terus dimainkan. Aku mempelajari teknik editing, mencari inspirasi konten, dan bergabung dengan komunitas baru.


 ▲Dukung kreator di YouTube dengan subscribe dan like!▲ 

Bersamaan dengan bergabungnya aku ke komunitas yang dipenuhi orang-orang baru, standar dosis internet baru 4 gram yang lebih cepat mulai merata. Memungkinkan aku terhubung kuat dengan mereka. Namun bersamaan itu juga, aku merasa diriku tak bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, seakan disconnected dari ... dunia 'nyata'.

Timeline sosmed mulai membahas masalah dugaan virus yang melanda dunia dan mengharuskan seluruh masyarakat untuk karantina dalam waktu yang lama. Namun dengan kemajuan zaman, hal itu bukan masalah. Internet hadir untuk memudahkan manusia melanjutkan aktivitasnya dari rumah secara daring. Kerja, belajar, main, komunikasi, bahkan belanja bisa lewat online. Orang tuaku memasang router Wi-Fi dengan dosis 4 gram yang baru untuk menghemat biaya daripada membeli paket data terus.

Bagiku tidak masalah aku tidak bisa keluar menikmati dunia nyata, aku sudah terlalu hanyut dalam arus dunia digital. Sekian lama aku berkecimpung dalam eksistensi digital, mengembangkan diri di dalamnya dengan menjadi konten kreator. Membuat konten keren dan inspiratif, walau mungkin pesan dan ilmu yang disampaikan dari konten itu masih kurang diperhatikan.

Dengan lonjakan pemakaian internet saat karantina, orang yang tua pun mau tak mau harus mempelajarinya atau bisa tertinggal dari dunia. Kebiasaan internet baru saat karantina ini mulai mengubah caraku hidup lebih drastis. Aku cukup diam di rumah untuk 'sekolah' dan 'main'. Sekolah hanya absen online dan meeting kelas online. Untuk main tinggal chatting dengan teman, buka medsos, dan main game.

Tapi aneh, rasanya ada yang tidak beres. Internet harusnya menghubungkan aku dengan dunia, tapi rasanya aku malah seperti terputus dari dunia yang dulu kukenal. Aku merasakan satu demi satu kejanggalan terjadi. Tren dan konten yang sering viral berevolusi semakin tak karuan; teman online mulai nyaman menunjukkan sisi buruknya; grup chat kelas sering menghibahi guru dan bertukar stiker aib dan aneh; opini-opini sesat dan pergeseran norma; meme yang harusnya lucu menjadi alat setir dan sindir; skill edit berubah menjadi alat untuk eksistensi diri; kemudahan dalam dunia edit dengan template yang membuat konten semakin tak kreatif dan repetitif.


Lama-lama rasanya aku muak, tapi entah kenapa aku tak bisa lepas dari itu. Padahal dulu ini atas kehendak bebasku, tapi sekarang aku tak bisa bebas dari ini. Mungkinkah karena protokol karantina dan internet daring? Mungkinkah aku sendiri yang tak sadar telah tenggelam terlalu dalam di dunia ini? Apakah aku masih punya kendali, atau aku hanya produk algoritma kehidupan digital?

Aku semakin susah lepas dari handphone; bergadang dan rebahan terus; sekolah hanya absen dan meeting dengan mematikan kamera; semangat produksi bikin konten menurun; lebih sering mengonsumsi konten hasil algoritma yang tak jelas; terbawa arus pergaulan yang buruk; persepsi waktu menjadi semakin kacau; marah-marah kalau Wi-Fi loading atau gangguan; cepat bosan namun tak ada mainan lain selain internet.

Begitulah yang aku rasakan. Seakan terjebak dalam limbo antara merasa hidup dan merasa mati. Sulit menyeimbangkan dunia asli dan dunia digital. Aku mencoba keluar dari zona limbo dengan mencari konten yang lebih ekstrem yang dapat memuaskan rasa bosanku, namun tanpa disadari aku malah mencoba-coba hal buruk dan bahkan membuat dosa saking bosannya.

Masa karantina pun berlalu, orang-orang kembali pada kesibukannya di dunia nyata. Aku sudah menuju jenjang pendidikan SMA. Aku berusaha untuk beradaptasi kembali, tapi ada yang salah. Aku bahkan hampir tidak mengenali dunia yang kukenal ini. Sudah berapa lama aku tinggal di dunia digital yang memuakkan itu?

Aku berusaha untuk melepas kebiasaan internetku tetapi tidak bisa. Seakan internet menjadi bagian dari hidupku, tapi dalam arti yang buruk. Kebencian pada diri mulai tumbuh saat aku melihat teman-teman sekolahku dulu. Mereka terlihat lebih berkembang daripada aku sejak terakhir kali aku lihat sebelum karantina. Aku masuk ke dunia internet untuk berkembang juga, tapi yang aku dapat malah keburukannya. Mungkinkah ini yang sejak dulu Ayah peringatkan padaku? Kalau aku belum siap menerima kekuasaan dan kehendak bebasku berselancar dalam internet?

Sekian lama aku menjalani hari sembari berusaha melepas diri dari perangkap internet. Tapi rasanya tak mungkin, aku terus mengulang kesalahan dan mencoba hal yang harusnya tak aku lakukan. Rasanya aku mulai kehilangan diriku. Hampa, seolah pikiran dan jasadku berjalan sendiri tanpa ruh. "Aku dulu mau berkembang. Sekarang aku bahkan tak tahu siapa diriku."

Waktu terasa berjalan cepat, hari-hari berlalu lalang tanpa kesan, tanpa arah. Aku berusaha produktif dan mengembangkan diri di dunia nyata, tapi aku tertinggal jauh. Aku kembali membandingkan diri dan terus menyalahkan diri. Pada akhirnya, aku sendirilah yang tertinggal karena tanganku sendiri, kehendakku sendiri. Aku sudah membusuk digerogoti oleh internet.

Aku hanya bisa menangisi diri sendiri, tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa menemani dan mengerti kesulitanku. Setidaknya, itu yang aku pikirkan sebelum orang tuaku mendengar tangisanku dan mulai menenangkanku. Aku merasa malu karena sudah berapa lama aku terputus untuk berbincang dengan mereka. Tapi aku yang sudah tak tau harus berbuat apa mencurahkan segalanya. Aku meminta solusi untuk lepas dari semua ini. Orang tuaku merasa bersalah karena kelalaian mereka tidak menemaniku dulu; kurangnya perhatian mereka untuk memahami dan mengawasi teknologi lebih awal; dan kurang tegasnya mereka saat dulu memberiku kekuasaan ini. Namun hal yang berlalu tak bisa diulang, benar?

Ayahku membacakan sebuah potongan ayat Al-Qur'an berikut:

اِنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗ وَاِنْ تُؤْمِنُوْا وَتَتَّقُوْا يُؤْتِكُمْ اُجُوْرَكُمْ وَلَا يَسْـَٔلْكُمْ اَمْوَالَكُمْ ۝٣٦

"Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan tidak akan meminta hartamu." (QS. Muhammad: 36)

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ ۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ ۝٤٤

"Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa." (QS. Al-An'am: 44)

اَلَّذِيْنَ اِنْ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ اَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ وَاَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَلِلّٰهِ عَاقِبَةُ الْاُمُوْرِ ۝٤١

(Yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kemantapan (hidup) di bumi, mereka menegakkan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan. (QS. Al-Hajj: 41)

Bukannya menenangkanku, itu malah membuat tangisanku semakin menjadi-menjadi. Tapi bukan karena sedih, tetapi lebih pada keharuan, ketenangan, dan kepuasan atas jawaban yang selama ini tak pernah aku pikirkan untuk aku tanyakan. Sebuah nikmat yang dulu aku pikir tidak memiliki konsekuensi, yang aku pikir sebuah nikmat untuk berkembang, malah menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri. Sebuah pisau bermata dua, di satu sisi memang bermanfaat, namun di sisi lainnya dapat membuat diri hancur karena salah menggunakannya.

Orang tuaku memberi nasihat bahwa proses untuk pulih tidaklah instan. Internet memang memudahkan, cepat, bahkan instan. Tapi sebab itulah orang mudah terbawa arus di dalamnya. Usahaku untuk pulih sendiri adalah bukti bahwa Allah menyayangiku. Allah memberiku kesadaran akan internet yang malah merusakku. Tanpa kesadaran itu mungkin aku terus terjebak menjadi zombie dalam dunia digital.

Allah menghargai proses dan bukan hasil akhir yang cepat, sebab itu pula Allah membuat pahala dan dosa, surga dan neraka, maksiat dan taubat. Dosa dan segala yang merusak memang lebih nikmat pada awalnya, namun pada akhirnya membawa pada kesengsaraan. Pahala dan segala kebaikan terasa memberatkan dan butuh usaha, tetapi pada akhirnya membawa keberkahan dan nikmat yang lebih banyak.

Kali ini, aku memasuki dunia perkuliahan dengan membawa angin perubahan baru dan berusaha dengan bersungguh-sungguh. Aku memahami bahwa proses ini tidak akan mudah, tapi asalkan mau bersabar, istiqomah, tawakal, dan hijrah Allah akan memberikan jalan dan kemudahan. Aku mulai mendetoks diri dari internet; mulai lebih terkoneksi dengan ruhku, kepada Allah, dan dunia nyata; mengendalikan kebiasaan lama dan berusaha bangkit tiap kali gagal; menghapus jejak digital yang memicu dosa jariyah dan aib; menjadikan diri yang mengendalikan internet, bukan internet yang mengendalikanku; menggunakannya dengan bijak sebagai alat mengembangkan diri; menggunakan skill editing untuk membuat konten bermakna; tak memedulikan eksistensi diri di dunia digital.


 ▲Dukung kreator di YouTube dengan subscribe dan like!▲ 
Saat ini pun internet berevolusi menjadi generasi ke-5 dengan dosis 5 gram, dosis yang bisa-bisa menjadi narkotika mematikan dengan kecepatan real-time-nya, memancarkan radiasi toksik dari wadah perangkat teknologi ke dalam tubuh manusia. Bersamaan dengan itu juga mulai muncul teknologi AI yang semakin memudahkan hidup manusia lebih jauh, tetapi juga memiliki bahaya layaknya internet. Tapi kali ini aku tidak tergiur dan akan hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi lebih bijak lagi.

Rasanya hampa berada di dunia nyata ini, setelah sekian banyak keseruan yang aku rasakan di dunia digital. Tetapi sekarang aku mengerti, rasa hampa ini adalah potensi mengarahkan diri untuk berkembang, bukannya kembali pada kemunduran, dan berkembang bukan berarti selalu mengikuti apa yang ada, tetapi juga tahu kapan harus berhenti.


Internet memberiku luka emosional yang mendalam. Nikmat yang aku salah gunakan, kini kugunakan penuh kehati-hatian. Agar tidak terjerat darinya, dari godaan serta bisikan-bisikan yang menghantui pikiranku...

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu